Nov 24 2018
Pendidikan Islam di Madrasah Pembangun Karakter
Oleh : Abdul Haris
Alumni MTs Irsyadul Mutaalimin
Sistem pendidikan di Indonesia telah melalui rangkaian proses sejarah yang panjang dalam perkembangannya.Bangsa Indonesia sejak awal telah mewarisi dualistis sistem pendidikan dan pengajaran. Pertama, sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah-sekolah umum yang sekular dan tidak mengenal ajaran agama yang merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda. Kedua, sistem pendidikan dan pengajaran Islam yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Islam sendiri(Muhaimin, 2009: 76). Kedua sistem pendidikan pada awal masa kemerdekaan tersebut, sering dianggap bertentangan serta tumbuh dan berkembang secara terpisah satu sama lain. Sistem yang pertama, pada mulanya, bisa dijangkau oleh kalangan masyarakat atas saja, sedangkan yang kedua tumbuh dan berkembang secara mandiri di kalangan rakyat dan berurat-akar dalam masyarakat.
M.Sarijo:1980 dalam bukunya menyebutkan bahwa Lembaga Pendidikan Agama Islam pertama didirikan di Indonesia adalah dalam bentuk pesantren. Karakter yang khas “religius oriented”, pesantren telah mampu meletakkan dasar-dasar pendidikan keagamaan yang kuat. Para santri tidak hanya dibekali pemahaman tentang ajaran Islam tetapi juga kemampuan untuk menyebarkan dan mempertahankan Islam.
Masuknya model pendidikan sekolah membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi umat Islam saat itu, yang mengarah pada lahirnya dikotomi ilmu agama (Islam) dan ilmu sekuler (ilmu umum dan ilmu sekuler Kristen). Dualisme model pendidikan yang konfrontatif tersebut telah mengilhami munculnya gerakan reformasi dalam pendidikan pada awal abad dua puluh (toha at al : 1998). Gerakan reformasi tersebut bertujuan mengakomodasi sistem pendidikan sekolah ke dalam lingkungan pesantren, dari situlah embrio madrasah lahir.
Setelah Indonesia merdeka, perhatian terhadap madrasah atau pendidikan Islam umumnya semakin membaik. Pemerintah memberikan perhatian dan bantuan materiil kepada madrasah. Perhatian pemerintah terhadap madrasah dan pesantren semakin terbukti ketika didirikan Kementerian Agama pada tanggal 3 Januari 1946. Yang sebagian satu tugasnya adalah: (1) Memberi pengajaran agama di sekolah negeri dan partikelir; (2) Memberi pengetahuan umum di madrasah; dan (3) Mengadakan Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN).18Dan pada perkembangannya madrasah terbagi dalam jenjang-jenjang pendidikan; Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah.
Perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat baik sosial maupun kultural berimplikasi terhadap dunia pendidikan Islam termasuk Madrasah di Indonesia. Pada tataran makro, persoalan yang dihadapi pendidikan Islam adalah bagaimana pendidikan Islam mampu menghadirkan desain atau konstruksi wacana pendidikan Islam yang relevan dengan perubahan masyarakat. Selanjutnya, bagaimana desain wacana pendidikan Islam tersebut dapat ditransformasikan atau diproses secara sistematis dalam masyarakat.
Untuk menjawab pertanyaan ini, meminjam prinsip hakekat pendidikan Islam yang digunakan Hasim Amir, yang mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang idealistik, yakni pendidikan yang integralistik, humanistik, pragmatik dan berakar pada budaya kuat.
Pertama, pendidikan integralistik, merupakan model pendidikan yang diorientasikan pada komponen-komponen kehidupan yang meliputi: Pendidikan yang berorientasi pada Rabbaniyah (Ketuhanan), insaniyah (kemanusiaan) dan alamiyah (alam pada umumnya), sebagai suatu yang integralistik bagi perwujudan kehidupan yang baik dan untuk mewujudkan rahmatan lil ‘alamin, serta pendidikan yang menggap manusia sebagai sebuah pribadi jasmani-rohani, intelektual, perasaan dan individual-sosial. Pendidikan integralistik diharapkan dapat menghasilkan manusia (peserta didik) yang memiliki integritas tinggi, yang dapat bersyukur dan menyatu dengan kehendak Tuhannya, menyatu dengan dirinya sendiri sehingga tidak memiliki kepribadian belah atau kepribadian mendua, menyatu dengan masyarakat sehingga dapat menghilangkan disintegrasi sosial, dan dapat menyatu dengan alam sehingga tidak membuat kerusakan, tetapi menjaga, memelihara dan memberdayakan serta mengoptimalkan potensi alam sesuai kebutuhan manusia.
Kedua, pendidikan yang humanistik, merupakan model pendidikan yang berorientasi dan memandang manusia sebagai manusia (humanisasi), yakni makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrahnya. Maka manusia sebagai makhluk hidup, ia harus mampu melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidupnya. Maka posisi pendidikan dapat membangun proses humanisasi, artinya menghargai hak-hak asasi manusia, seperti hak untuk berlaku dan diperlakukan dengan adil, hak untuk menyuarakan kebenaran, hak untuk berbuat kasih sayang, dan lain sebagainya. Maka, manusia “yang manusiawi” yang dihasilkan oleh pendidikan yang humanistik diharapkan dapat mengembangkan dan membentuk manusia berpikir, berasa dan berkemauan dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang dapatmengganti sifat individualistik, egoistik, egosentrik dengan sifat kasih sayang kepada sesama manusia, sifat menghormati dan dihormati, sifat ingin memberi dan menerima, sifat saling menolong, sifat ingin mencari kesamaan, sifat menghargai hak-hak asasi manusia, sifat menghargai perbedaan dan sebagainya. Ketiga, pendidikan pragmatik adalah pendidikan yang memandang manusia sebagai makhluk hidup yang selalu membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan hidupnya baik bersifat jasmani maupun rohani, seperti berpikir, merasa, aktualisasi diri, keadilan, dan kebutuhan spritual ilahiyah. Dengan demikian, model pendidikan dengan pendekatan pragmatik diharapkan dapat mencetak manusia pragmatik yang sadar akan kebutuhan-kebutuhan hidupnya, peka terhadap masalah-masalah sosial kemanusiaan dan dapat membedakan manusia dari kondisi dan situasi yang tidak manusiawi.
Keempat, pendidikan yang berakar pada budaya, yaitu pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah, baik sejarah kemanusiaan pada umumnya maupun sejarah kebudayaan suatu bangsa, kelompok etnis, atau suatu masyarakat tertentu. Maka dengan model pendidikan yang berakar pada budaya, diharapkan dapat membentuk manusia yang mempunyai kepribadian, harga diri, percaya pada diri sendiri, dan membangun peradaban berdasarkan budaya sendiri yang akan menjadi warisan monumental dari nenek moyangnya dan bukan budaya bangsa lain. Tetapi dalam hal ini bukan berarti kita menjadi orang yang anti kemodernan, perubahan, reformasi dan menolak begitu saja arus transformasi budaya dari luar tanpa melakukan seleksi dan alasan yang kuat.
Di dalam buku tentang Kecerdasan Ganda (Multiple Intelligences), Daniel Goleman menjelaskan bahwa kecerdasan emosional dan sosial dalam kehidupan diperlukan 80%, sementara kecerdasan intelektual hanyalah 20% saja. hal inilah maka pendidikan karakter diperlukan untuk membangun kehidupan yang lebih baik dan beradab, bukan kehidupan yang justru dipenuhi dengan perilaku biadab. Maka terpikirlah oleh para cerdik pandai tentang apa yang dikenal dengan pendidikan karakter (character education).
Terakhir desain model pendidikan agama Islam di madrasah yang lebih berhasil generasi yang berkarakter dapatdilaksanakan di sekolah-sekolah formal khususnya pada peserta didikberagama Islam, di rumah atau lingkungan keluarga, di masjid,di lingkungan masyarakat dan sebagainya. Pendidikan agama akan menjadi tanggungjawab orang tua, guru dan masyarakat . Yahya Muhaimin: 2000 pernah mengemukakan bahwa pendidikan berbasis keluarga (family-based education) dan pendidikan berbasis pada masyarakat (community-based education). Pendidikan Islam juga dapat ditanamkan dan disosialisasikan secara intensif melalui basis-basis tersebut, sehingga Pendidikan Agama sudah menjadi kebutuhan dan based dalam pribadi peserta didik. Maka dalam proses belajar mengajar di sekolah pendidikan agama telah menjadi kebutuhan dan prilaku (afektif dan psikomotorik) yang aktual, bukan lagi berupa pengetahuan (knowledge) yang dihafal (kognitif) dan diujikan secara kognitif pula.Sesuai motto Pendis “Madrasah Lebih Baik, Lebih Baik Madrasah”. (admin)
Agu 31 2020
Tahun Pelajaran 2020/2021, Madrasah Gunakan Kurikulum PAI Baru
JARRAKPOSLAMPUNG – Madrasah akan memulai tahun pelajaran 2020/2021 mulai 13 Juli mendatang. Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah, A Umar mengatakan bahwa Madrasah, baik Ibtidaiyah (MI), Tsanawiyah (MTs), maupun Aliyah (MA), akan menggunakan kurikulum baru untuk Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab.
“Mulai tahun pelajaran 2020/2021, pembelajaran di MI, MTs, dan MA akan menggunakan kurikulum baru untuk Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab,” terang Umar di Jakarta, Jumat (10/07/2020).
Menurut Umar, Kemenag telah menerbitkan Keputusan Menteri Agana (KMA) No 183 tahun 2019 tentang Kurikulum Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab di Madrasah. Selain itu, diterbitkan juga KMA 184 tahun 2019 tentang Pedoman Implementasi Kurikulum pada Madrasah. Kedua KMA ini akan diberlakukan secara serentak pada semua tingkatan kelas pada tahun pelajaran 2020/2021.
“KMA 183 tahun 2019 ini akan menggantikan KMA 165 tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab pada Madrasah,” ujar Umar.
Sehubungan itu, lanjutnya, mulai tahun ajaran ini KMA 165 tahun 2014 tidak berlaku lagi. Meski demikian, kata dia, mata pelajaran dalam Pembelajaran PAI dan Bahasa Arab pada KMA 183 Tahun 2019 sama dengan KMA 165 Tahun 2014. Mata Pelajaran itu mencakup Quran Hadist, Akidah Akhlak, Fikih, Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), dan Bahasa Arab.
“Jadi beda KMA 183 dan 165 lebih pada adanya perbaikan substansi materi pelajaran karena disesuaikan dengan perkembangan kehidupan abad 21,” jelas Umar.
Kemenag juga, jelas dia, sudah menyiapkan materi pembelajaran PAI dan Bahasa Arab yang baru ini sehingga baik guru dan peserta didik tidak perlu untuk membelinya.
“Buku-buku tersebut bisa diakses dalam website e-learning madrasah,” tandasnya. (lis) Sumber : jarrakposlampung.com
By admin • Berita •